Mukjizat Sains Al-quran

Bookmark and Share








Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا(1)قَيِّمًا لِيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا(2) مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا(3)


"Maha suci Allah yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab (Al-Qur'ân) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan1 di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal didalamnya untuk selama-lamanya." (QS: al-Kahfi: 1-3 ).

Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah dzat yang maha pencipta serta penyempurna, yang berfirman di dalam Al-Qur'ân:

قُلْ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ(101)


"Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada dilangit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS: Yûnus: 101).

Dan saya bersaksi bahwa baginda Muhammad saw. adalah hamba dan utusan-Nya, nabi ummî (tidak bisa membaca dan menulis) yang telah Allah sucikan dan puja, seraya menyanjungnya di dalam Al-Qur'ân:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ(4)

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS: al-Qalam: 4). Dia telah menegasakan akan kebenaran kenabian Muhammad saw. dan menggambarkannya dalam sebuah firman-Nya :

وَمَا يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'ân) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang telah diwahyukan kepadanya”. (QS: al-Najm 3-4).

Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya, para shahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari kiamat.

***

Apabila kita memberikan pandangan kepada Al-Qur'ân, maka kita akan mendapatkan keyakinan bahwa Allah SWT. adalah dzat yang maha mulia lagi maha agung, dzat yang menurunkan Al-Qur'ân kepada manusia sebagai sebuah kitab yang senantiasa dibaca. Sebagaimana halnya Allah menurunkan Al-Qur'ân sebagai kitab yang bisa dibaca, begitu juga ketika Allah menjadikan alam ini yang di dalamnya menggambarkan tentang kemahapenciptaan Allah SWT. Hal tersebut akan ditemukan oleh orang-orang yang membaca tanda-tanda kebesaran serta kekuasaan Allah. Dan alam ini tidak akan bisa menjadi tanda kagungan serta kemahapenciptaan Allah kecuali bagi orang-orang yang membacanya. Allah berfirman:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah mencipta “ (QS: al-‘Alaq: 1).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Al-Qur'ân dan alam semesta adalah sumber acuan kebenaran agama dan ilmu pengetahuan (science). Sebagai bukti akan hal tersebut, Allah menurunkan Al-Qur'ân dengan kebenaran:

وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(105)

”Dan kami turunkan Al-Qur'ân itu dengan sebenar-benarnya”. (QS. al-Isrâ: 105 ). Dia juga menciptakan alam semesta ini dengan sebenar-benarnya, firman-Nya: “Dan Ia menciptakan alam semesta ini dengan sebenar-benarnya”. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan sebenar-benarnya”.

Oleh sebab itu, maka dapat dipastikan bahwa tidak akan terjadi kontradiksi antara dua kebenaran yang bersumber dari satu dzat, yaitu Allah, karena tidak ada kebenaran yang kontradiktif dengan dirinya sendiri dan juga tidak akan ada kontradiksi antara agama yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur'ân dengan alam yang terbentang dalam hamparan jagat raya ini.

Al-Qur'ân, di samping fungsinya sebagai petunjuk dan hidayah dalam masalah akidah, syari’ah, akhlak serta mu’amalah, Al-Qur'ân juga merupakan petunjuk terhadap kandungan isi alam semesta dan juga pentunjuk bagi akal kita. Allah berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ(53)

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'ân itu adalah benar, dan apakah Tuhanmu tidak cukup ( bagi kamu ) bahwa sesungguh Nya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. Fush-shilat: 53).

Manakala kita membicarakan tentang Al-‘Ijaz al-‘Ilmî Fi al-Qur’ân al-karîm atau kemukjizatan saintifik di dalam Al-Qur’an, ada sebagian manusia yang menentang mukjizat Al-Qur'ân, mereka inilah yang senantiasa mengutarakan berbagai wacana yang membahayakan. Contoh di antaranya mereka mengatakan : “Bukankah menafsirkan Al-Qur'ân dengan menggunakan ilmu pengetahuan akan menjadikan ayat-ayat tersebut bertentangan dengan penta’wilan Al-Qur'ân yang dinamis dan berubah sehingga menghasilkan pengaruh langsung pada Al-Qur'ân itu sendiri? Dan apabila Al-Qur'ân mengandung petunjuk-petunjuk saintifik dan kebenaran–kebenaran yang berkenaan dengan alam semesta, mengapa hal itu justru ditemukan oleh para cendekiawan non muslim? Mengapa bukan orang Islam sendiri yang menemukan kebenaran-kebenaran itu? Bukankah dengan bukti-bukti di atas orang-orang non-Muslim hanya menemukan keraguan terhadap kebenaran Al-Qur'ân, karena mereka menganggap semua kebenaran yang ada di dalam Al-Qur'ân adalah diambil dari penemuan–penemuan mereka sendiri ? Dan bukankah Al-Qur'ân merupakan petunjuk pertama dan terakhir, tetapi mengapa Al-Qur'ân mengajarkan hal-hal yang terbatas dan penuh keraguan pada penafsiran beberapa ayat yang memiliki kandungan penjelasan tentang sains? Kalau realitasnya seperti apa yang barusan kita gambarkan, lalu apa arti penginterpretasian Al-Qur'ân secara saintifik bagi umat Islam di dunia modern saat ini? Dan apa dalih-dalih serta substansi yang tersisa dari usaha orang-orang yang mengkaji masalahan mukjizat saintifik, jika pengkajian masalah semacam ini sendiri sudah banyak terkontaminasi dengan predikasi-prediksi yang hanya berlandaskan asumsi atau dugaan?

Ketakutan-ketakutan dan penentangan-penentangan ini berpengaruh pada terciptanya tuduhan pada setiap orang yang melakukan pengkajian secara mendalam terhadap mukjizat saintifik dalam Al-Qur'ân. Tuduhan tersebut mereka berikan tanpa bisa membedakan antara orang-orang yang memiliki penafsiran ilmiah yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang kepastiannya tidak diragukan lagi, dengan orang-orang yang mempunyai pandangan-pandangan yang sembrono atau gegabah dan orang-orang yang mengajak pada pengkajian keilmuwan dan pemikiran yang hanya berdasarkan asumsi, hipotesa dan dugaan mereka dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur'ân, yang sebenarnya mereka sama sekali tidak memahaminya.

Al-Qur'ân menjadikan tanda-tanda kebesaran Allah dalam alam semesta sebagai dalil keabsolutan kekuasaan dan kemahapenciptaan Allah SWT, dan mukjizat saintifik didalam Al-Qur'ân memberikan penegasan, bahwa penciptaan kosmos adalah sebagai penegas kebenaran diturunkannya Al-Qur'ân. Al-Qur'ân juga bisa dijadikan penegas–korelatif, bahwa ilmu diciptakan Allah untuk dipakai membantu proses peningkatan keimanan manusia. Dan sesungguhnya ilmuwan adalah segolongan manusia pertama yang mempunyai rasa takut kepada Allah. Berbicara tentang kandungan keilmuwan di dalam Al-Qur'ân, tidak hanya terbatas pada cakupan ilmua syari’at dan agama saja, sehingga berinteraksi dengan bidang-bidang ilmu yang lain seakan akal kita berhadapan dengan obyek-obyek keilmuwan yang merupakan signifikansi agama dan sebagai pembuka untuk merealisasikan rasa takut kepada Allah, Allah SWT. berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ(22)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. al-Rûm: 22); dan dalam ayat lain Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَى أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنْ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ(27)وَمِنْ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ(28)

”Tidakkah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat dan demikian pula diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba Nya orang yang berilmu, sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun”. (QS. Fâthir: 27-28).

Sesungguhnya sebaik-baik penyembahan (ibadah) kepada Allah adalah berupaya menunjukkan manusia kepada rahasia-rahasia ciptaan-Nya, dan menemukan kebenaran-kebenaran yang ada pada dirinya serta pada alam kosmik yang ada di sekitarnya. Selain itu, ilmu pengetahuan yang benar adalah ilmu pengetahuan yang mengandung berita-berita Qurani, karena itu, apabila kebenaran saintifik telah tetap dan mengandung kesesuaian dengan apa yang ditunjukan oleh Al-Qur'ân– padahal Al-Qur’ân telah diturunkan beberapa abad sebelum ditemukannya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan—maka tidak ada salahnya jika kita mengeksplorasi hal tersebut dan menggunakanya dalam menafsirkan kemukjizatan saintik Al-Qur’an.

Hal ini tidak berarti bahwa orang Islam membutuhkan pembuktikan mukjizat saintifik dalam Al-Qur'ân sedangkan keimanannya sendiri berhenti pada pembuktian mukjizat tersebut, atau pembuktian mukjizat ini dari sudut pandang lain. Keberadaannya sebagai seorang Islam dan percaya terhadap mukjizat-mukjizat teks Al-Qur'ân dengan keimanan yang kuat, sudah cukup menjadi syarat sebagai orang Islam yang baik.

Pembuktian mukjizat saintifik di dalam Al-Qur'ân akan menjadi langkah yang sangat strategis di samping juga bisa menjadi piranti dakwah bagi non-Muslim agar mereka tertarik oleh Islam. Di samping pembuktian mukjizat Al-qu’an juga berfungsi untuk menutup pintu ateisme pada mereka dan pada orang-orang yang berada di sekitar mereka baik dari golongan anak-anak muda timur maupun mereka yang terbaratkan pemikiran dan kebudayaannya, karena imbas kebenaran–kebenaran saintifik akan berefek lebih besar dan vital bagi akal mereka bila dibandingkan dengan dali-dalil lainnya.

Kemudian, manakala kita berbicara tentang Al-Qur'ân, maka akan jelas bagi kita bahwa Al-Qur'ân adalah kitab yang berfungsi sebagai petunjuk, ia juga merupakan firman-firman yang berisi kebenaran dan sama sekali tidak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Karena itu, kandungan Al-Qur'ân tidak sempit atau terbatas pada fungsi Al-Qur'ân sebagai hidayah pada aspek-aspek tertentu saja, syari’at atau keyakinan dan penelitian atau pemikiran seorang da’i (pengajak) untuk memperoleh pengetahuan semata. Seorang peneliti yang baik dan mendalam akan menghayati Al-Qur'ân melalui anugerah pikiran, akal dan pandangan, sehingga penelitian yang dia lakukan tidak akan berhenti pada tanda-tanda yang dipenuhi oleh kebenaran-kebenaran ilmiah, meskipun tidak kelihatan jelas dari berita-beritanya dan tidak terbatas pada simbol-simbolnya. Pencakupan terhadap ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tanda yang berarti serta akan menghasilkan tersebarnya ilmu pengetahuan di antara umat manusia, di samping sebagai hujjah orang-orang berilmu yang akan menjadi kalimat yang menembus penutup-penutup alam dan membuka kebenaran-kebenaran yang ada.

Tetapi dengan tidak mengklaim bahwa Al-Qur'ân mencakup ilmu-ilmu tentang kosmos dan penjelasannya yang rinci, karena hal-hal tersebut hanya sebatas petunjuk pada kenyataan beberapa kebenaran alam semesta yang akan memberikan pemahaman pada kelembutan akal dengan iman dan jangan menjadikan kebenaran-kebenaran itu sebagai sumber untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah agar pemahaman terhadap kebenaran-kebenaran saintifik yang terkandung di dalam Al-Qur'ân akan berefek pada peneguhan keimanan kepada Allah dan kekuasaan-Nya. Hal tersebut bukan berarti kita terfokus menghabiskan waktu pada apa yang dituduhkan atau ditakutkan pada beberapa penafsiran Al-Qur'ân ilmiah, atau tafsirnya dalam pandangan mukjizat ilmiah Al-Qur’ân . Akan tetapi yang dimaksud adalah ayat-ayat kosmos di dalam Al-Qur’an itu sendiri.

Adapun apabila orang-orang Islam tidak menjadi inovator terhadap ilmu-ilmu tersebut atau terhadap kebenaran-kebenaran saintifik yang sudah tarmaktub di dalam Al-Qur'ân, padahal petunjuk-petunjuk Al-Qur'ân akan hal ini sangat jelas, hal tersebut dipandang sebagai keterbatasan orang-orang Islam sendiri dalam masalah ini, di samping walau bagaimanapun, hal tersebut bukan tujuan utama diturunkannya Al-Qur'ân. Al-Qur'ân mengajak, memerintah dan menganjurkan mereka untuk berpikir, menyelidiki dan meneliti.

Pendeknya, agama meminta akal agar jangan membatasinya dari Al-Qur'ân dan jangan melakukan sesuatu tanpa berpijak padanya, tidak hanya sebatas itu sikap Islam terhadap umatnya, tetapi lebih dari semua itu agama kita menganjurkan manusia untuk selalu berpikir, berpandangan, berusaha dan melakukan penelitian, tanpa ada batasan untuk meneliti:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(20)


"Katakanlah: Berjalanlah dimuka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari pemulaanya”. (QS. Al-Ankabût: 20). Karena itu, sejatinya kita tidak lupa kebenaran yang sangat vital, yaitu peran besar yang telah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam, ketika mereka merespon ajakan Al-Qur'ân yang menghasikan kejayaan peradaban Islam. Para ilmuwan kita dahulu, mamapu mencapai penemuan beberapa kebenaran alam semesta sebagaimana yang ditunjukan oleh Al-Qur'ân dan memberikan pengaruh sangat besar dalam pergerakan keilmuwan manusia–yakni pada masa kemegahan peradaban Islam dan mereka juga banyak menemukan metodologi ilmiah yang merupakan penemuan–penemuan terbesar yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam, dan berimbas pada kebangkitan intelektualitas modern yang memberikan banyak andil dalam penemuan kebenaran-kebenaran kosmik yang ditunjukkan oleh Al-Qur'ân. Hal tersebut, merupakan hasil dari ketaatan para ilmuwan kita dahulu terhadap ajakan Al-Qur'ân yang memberikan pengaruh langsung dalam penemuan-penemuan dalam menyingkap rahasia alam semesta. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri telah menjadi titik tolak strategis kebangkitan modern dalam melakukan penemuan-penemuan rahasia-rahasia alam yang menakjubkan dewasa ini.

Akan tetapi hal tersebut bukan berarti bahwa para ilmuwan Islam telah menyelesaikan misinya dan selesai sudah tugas orang-orang Islam. Adalah kewajiban kita untuk selalu berusaha melanjutkan usaha pendahulu mereka yang terputus dan membangun fondasi bagi generasi-generasi sesudah mereka.

Sesungguhnya, para ilmuwan Islam yang memiliki komitmen terhadap nilai akal dan perannya sebagai fondasi penemuan saintifik, - mereka - telah banyak merealisasikan apa yang belum pernah ditemukan oleh orang-orang sebelum mereka, sehingga mereka bisa memberikan manfaat bagi generasi sesudah mereka, khususnya orang–orang Eropa, yang saat itu banyak melakukan imperialisme dan mengadopsi hasil-hasil penemuan para ilmuwan Islam di masa kebangkitan mereka (umat Islam) dengan cara menterjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Seandainya tidak karena peran ilmuwan Islam, maka perkembangan saintifik mereka akan dimulai dari titik nol sehingga berpengaruh pada mundurnya perjalanan perkembangan peradaban mereka beberapa abad ke belakang. Hal tersebut setidaknya diakui oleh para ilmuwan mereka sendiri yang mengatakan, bahwa sains modern yang kita rasakan saat ini, tidak sekonyong–konyong jatuh dari langit karena hal tersebut merupakan hasil usaha manusia dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad. Apabila setiap periode tertentu para ilmuwan senantiasa membanggakan para pendahulu mereka serta mencantumkannya sebagai legitimasi ilmu pengetahuan, maka ilmuwan-ilmuwan Muslim banyak mempunyai kelebihan dalam bidang eksplorasi sains. Dan semua inovasi yang mereka temukan merupakan inovasi sains yang berdasarkan pada sumber ilmu pengetahuan Islam, yaitu Al-Qur'ân.

Sayangnya, saat ini kita telah dicoba –maaf– di negara-negara Arab atau di negara-negara Islam lainnya dengan cobaan yang sama, yakni kemunduran ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Barat saat ini telah kembali kepada kita dengan kemenangannya karena mereka mempunyai ilmu pengetahuan dan manakala mereka menjadi negara-negara maju, kita justru menjadi negara–negara terbelakang, sehingga memudahkan mereka menginfiltrasikan ilmu pengetahuan dan agama mereka ke dalam peradaban dan agama kita. Ini adalah keberuntungan tersendiri bagi peradaban mereka dan sebuah nestapa bagi umat Islam dan peradabannya. Kemudian mereka mengadopsi berbagai macam inovasi yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dan dengan bangga mereka mengatakan bahwa kemajuan itu adalah hasil mereka sendiri dengan mengingkari peran peradaban Islam yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk kemajuan yang telah mereka raih saat ini.

Sebagian manusia masih ragu dengan peran besar Qur`an sebagai piranti modernisme. Mereka mengatakan: ”Untuk apa kita membicarakan mukjizat Al-Qur'ân dan untuk apa kita beranggapan bahwasannya ayat-ayat yang diturukan sejak 14 abad yang lalu mengandung mukjizat. Bagaimana mungkin ayat-ayat tersebut bisa menyingkap kebenaran-kebenaran sains di zaman modern seperti sekarang ini? Kalo memang benar adanya, kenapa penemuan-penemuan tersebut tidak dilakukan oleh orang Muslim sehingga hal tersebut ditemukan oleh non-Muslim?

Orang yang mengatakan hal tersebut di atas mungkin tidak mengetahui secara sempurna inovasi-inovasi yang telah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim dan kelebihan peradaban Islam juga kelebihan ilmuwan-ilmuwan Islam di berbagai bidang ilmu sampai saat ini dan masa yang akan datang.

Sebagai bukti dari hal tersebut adalah bahwa metodologi induktif dalam ilmu eksakta seperti yang kita kenal saat ini merupakan fondasi kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan itu merupakan salah satu hasil penemuan orang-orang Islam.

Hal tersebut telah ditegaskan oleh S. Brant bahwa Roger Bacon , yang mengakui bahwa ia telah mengadopsi beberapa metodologi ilmiah dan mengambil produk-produk yang berdasarkan pada metode induktif dalam sosiologi masyarakat Arab.2

Karya-karya tertulis orang Islam dalam ilmu matematika misalkan, sampai saat ini masih menjadi rujukan utama bagi masyarakat Barat, begitu juga dalam Al-Jabar, logaritma, kimia, trigonometri, geometri dan juga beberapa ilmu lainnya. Alphabet yang dipakai oleh orang Barat saat ini adalah merupakan abjad-abjad Arab, nol adalah salah satu huruf terbesar dalam peradaban Arab. Masyarakat Arab telah memakai huruf tersebut sejak 250 tahun silam, kemudian pada abad ke 12 orang-orang Barat meyakini bahwa hal tersebut bukanlah inovasi yang mengakar pada peradaban barat sebagai mana yang telah ditegaskan oleh Rum Lando.

Karena itu, kreasi, karya dan penemuan-penemuan masyarakat Muslim dalam bidang kedokteran dan farmasi, jumlahnya tidak akan terhitung, sehingga apabila kita memperlihatkannya maka kita akan terpesona terhadap kemajuan dalam berbagai bidang yang kita ketahui dewasa ini baik di benua Eropa ataupun Amerika serta benua-benua lainnya. Kita juga harus ingat, bahwa orang-orang Islam di zaman dahulu adalah para ahli riset ulung yang telah meletakkan fondasi sains, mendirikan prinsip-prinsip keilmuwan dan mencerahkan dunia.

Orang-orang Eropa mengetahui buku al-Kulliyyât karya Ibn Rusd atau Averoes dan mempelajari buku-buku Abu bakar al-Razi, Muwafik al-Din al-Bagdhadi dan Ibn Nafis yang telah menemukan fungsi partikel terkecil di dalam darah manusia beberapa abad sebelum ditemukan oleh Harf (Inggris) dan Sarfetos (Spanyol). Orang-orang Eropa juga mempelajari ilmu pembedahan seperti yang telah dilakukan oleh al-Raji, Mansuri . Dan orang-orang Eropa juga belajar dari Ali Abu Qasim yang telah mengarang buku al-Tashrîf Liman ’Ajiza an-al-Taflîf. Buku ini merupakan ensiklopedia kedokteran yang berjumlah 30 jilid, dilengkapi dengan alat-alat yang digunakan dalam pembedahan serta cara menggunakannya dan juga cara melakukan operasi pembedahan otak.

Hal tersebut di atas sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam proses belajar mengajar di universitas-universitas Barat sejak beberapa abad yang lalu. Oleh sebab itu, apabila orang yang terpesona terhadap kejeniusan orang-orang Islam zaman dahulu mempunyai keinginan untuk membuktikan peradaban serta kebudayaannya dengan tidak berkesinambungan, maka saya mengusulkan agar tidak melakukan riset melalui cara Ali bin Qasim akan tetapi ia melakukan riset tersebut dari kiri yakni dari cara Abulcacis kemudian ke kanan. Sehingga dia menemukan akar yang benar dari produk saintifik yang dia pelajari.Bukan malah sebaliknya.

Orang-orang Eropa mengetahui ilmu kedokteran, persalinan, dan kedokteran anak yang merupakan masterpiece Ali bin Abbas, orang yang pertama kali mengarang buku tentang proses persalinan sebagai counterpart dari pendapat Abu Qurat yang telah memberikan pandangan yang salah dalam permasalahan ini.

Orang-orang Eropa juga mempelajari kedokteran mata dari Umar bin Ali dan Ali bin Isa al-Kahhal. Di samping mereka juga mempelajari tentang kedokteran gigi serta mulut pada Jahrawi dan lain-lain.

Meskipun sudah jelas dari pembuktian-pembuktian tersebut di atas, tetapi masih banyak saja generasi kita yang meragukan realitas yang mereka lihat. Bahwa, apabila Al-Qur'ân mengandung segala sesuatu seperti yang kita sebutkan di atas, mengapa ilmuwan Muslim tidak menemukan sesuatu yang terkandung di dalamnya ? dan sedihnya, dalam berbagai spesifikasi sains, pandangan genereasi kita masih banyak yang mendasarkannya pada imitasi sains yang mereka sangka sebagai penemuan-penemuan masyarakat Barat, walaupun sebenarnya hal tersebut terdapat di dalam Al-Qur’ân?

Hendaklah kita mengingatkan sekali lagi, bahwa Al-Qur'ân bukanlah kitab geologi atau sesuatu yang terspesifikasi dalam bidang tertentu—walaupun ada beberapa pentunjuk di dalam Al-Qur'ân yang menerangkan tentang hal tersebut. Orang Islam yang memahami Al-Qur'ân dan mempercayainya, akan memiliki komitmen terhadap petunjuknya, mereka yang membaca Al-Qur'ân: Bacalah! (QS. al-’Alaq: 1) juga dalam ayat lain Allah berfirman:


قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(20)

“Katakanlah, Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaanya.” (QS. al-Ankabût : 20 ); Dan mereka membaca di dalam Al-Qur'ân:

أَلَمْ تَرَى أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنْ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ(27)وَمِنْ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ(28)

“Tidakkah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dari hujan itu buah-buahan yang bermacam jenisnya.Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikianlah (pula ) diantara manusia, binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya) sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba Nya adalah ulama*, Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun. (QS.Fâtir: 27-28).

Berdasarkan dari apa yang kita sebut di atas bahwa penyebutan kata al-‘Ulamâ sesudah menunjukkan kata tumbuh-tumbuhan, gunung, geologi, manusia dan hayawan di dalam ayat suci Al-Qur'ân, -- seandainya saja kita jeli dalam memahami kandungan ayat ini --. Bahwa, penunjukkan kata al-‘Ulamâ di sini bukan hanya ulamâ dalam bidang agama, alan tetapi yang Allah maksud disini adalah para ilmuwan secara umum bukan hanya terkuptasi pada ilmuwan dalam bidang keagamaan. Dan ilmuwan adalah orang-orang yang paling banyak menemukan inovasi terhadap ciptaan-ciptaan Allah, karena itu, wajar kalau mereka adalah golongan mannusia yang paling takut kepada–Nya.

Karenanya, yang paling penting bagi umat Islam adalah bagaimana mengfungsikan akal terhadap apa-apa yang bisa mendatangkan manfaat bagi manusia di dunia ini.Pemfungsian akal, akan banyak mendorong manusia dalam melakukan penemuan-penemuan dan pembenaran sains yang berpangkal dari keimanan mereka kepada Allah dan kepatuhan mereka terhadap apa yang diperintahkan oleh–Nya. Di dalam kitab suci Al-Qur’ân Allah berfirman:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا(114)


“Dan katakahlah: duhai Tuhanku tambahkan padaku ilmu (QS.Taha: 114); dan juga apa yang diajakan oleh Nabi Muhammad saw.: “Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim” sehingga kita bisa merealisasikan inovasi-inovasi mengagumkan dalam berbagai bentuk dan macam karya kita yang bisa menjadi petunjuk bagi akal umat Islam dan hati orang-orang yang beriman, yang menerima pemahaman ilmu untuk manusia di setiap masa dan tempat, dalam rangka usaha mereka mendalami ilmu dan pengetahuan sebagai piranti menyingkap khazanah rahasia alam semesta.

Sebagaimana ilmu tersebut telah banyak dijelaskan oleh pendahulu-pendahulu mereka dalam bidang tertentu dan juga bidang-bidang keilmuwan lainnya, kita juga menemukan buku Shûrah al-Ardli yang dikarang oleh Khawarajmi, al-Buldân karya Ya’kub, al-Mamâlik karya Ibnu Khoukal, Ahsan al-Taqâsim Fî Ma’rifah al-Mawâsim karya Mikdas, Masâlik al-Mam^alik) karya Idtihrie, Muruj al-Dzahab karya Mas’udi, Ashâr al-Abkâr Fî Khawâsh al-Ahjâr karya Tifas, al-Jamâkhir fî Ma’rifah al-Jawâhir karya Biruni, al-Syifâ karya Ibn Sina dan al-Fawâ’id fî Ushûl al-Bihâr wa al-Qawâ’id karya Ibnu Majid. Buku-buku klasik tersebut di atas adalah referensi yang menjadi dasar ilmu geografi dan geologi di dunia modern, sampai saat ini.

Jadi-bukanlah dosa Islam apabila hal-hal tersebut tidak diketahui pada masa kita, atau tidak diketahui oleh para guru, dosen atau bahkan kiyai kita, karena seandainya saja mereka tahu, mereka akan terpana terhadap ilmuwan-ilmuwan mutakhir yang memperdalam pembuktian saintifik dengan agama, keimanan dan ilmu selama melakukan intrepretasi ilmiah terhadap beberapa ayat Al-Qur'ân. Sebagai pemfungsian anugerah keilmuwan untuk pemahaman petunjuk ayat-ayat Al-Qur’ân, atau untuk merealisasikan kebenaran-kebenaran ilmiah yang absolut dimana dengan perantaraannya ditemukan ilmu modern.

Dengan cara inilah akan terbukti, bahwa banyak sekali ayat Al-Qur'ân yang diturunkan sejak 14 abad lalu yang sudah melingkupi semua kebenaran sains modern di masa kini, sehingga pemahaman dan penafsiran Al-Qur'ân menjadi luas tanpa sama sekali menodai kebersihan dari kebenaran-kebenaran itu, dan dapat meyakinkan setiap orang yang mempunyai akal dan kebebasan. Bahwa, penciptaan kebenaran tersebut adalah sebagai pembukti diturunkannya Al-Qur'ân kepada Nabi Muhammad saw.


Sebagian orang mengatakan apabila beberapa ayat Al-Qur'ân merupakan pembuka kebenaran-kebenaran saintifik, apakah kita harus mengadopsinya dari Al-Qur'ân secara alamiah untuk kemudian menggunakannya sebagai petunjuk kemanusiaan? Untuk kemudian mentrasfernya ke dalam buku ilmiah?

Kami ingin mengulangi, tanpa bermaksud merancukan apa yang telah kami sampaikan di atas, bahwasannya keberadaan beberapa petunjuk di dalam ayat Al-Qur'ân yang berkenaan dengan beberapa ilmu pengetahuan, baik kedokteran, ilmu falak, geologi maupun yang lainnya, tidak berarti bahwa Al-Qur'ân merupakan kitab yang menjadi cabang dari ilmu-ilmu tersebut dan hal itu juga tidak berarti bahwasannya ilmu pengetahuan tersebut harus disentuh dari Al-Qur'ân, karena hal itu juga bukan merupakan pemahaman yang benar yang dikehendaki Al-Qur'ân. Al-Qur'ân merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk. Adapun jika di dalam Al-Qur'ân terdapat beberapa petunjuk yang kebenaran saintifiknya banyak ditemukan akhir-akhir ini, hal itu merupakan sebuah pembaharuan untuk dakwah Islamiah, kerena tantangan terhadap dakwah dan upaya melumpuhkan tantangan tersebut dari segala sisi, akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat nanti. Bagi setiap manusia di setiap waktu dan di setiap tempat, mukjizat saintifik dalam Al-Qur'ân membuat kita bisa menyaksikan seakan-akan Rasullullah SAW berada dalam setiap kesempatan dan mengajak manusia untuk menuju agama Allah serta memperlihatkan kepada mereka dalil-dalil yang mempunyai korelasi dengan kebenaran, di samping juga menjadi dalil kemutlakan kekuasaan Allah dan kebenaran Rasullullah. Maha benar Allah yang berfirman di dalam kitab suci Al-Qur'ân :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ(53)

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda ( Kekuasaan ) kami disegenap ufuk dan pada mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'ân itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. Fushshilat : 53).

Peradaban Islam telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti: al-Biruni, Hasan bin Hisam, Abu Bakar al-Razi, Abu Qasim al-Jahrawi, Ibn Sina, Ibn Tauhidi, Hawarizmi, Ibn Nafis, di samping–sudah kami sebutkan di atas—masih banyak ilmuwan- ilmuwan lainnya.

Ilmuwan-ilmuwan yang membuat inovasi, mengarang dan meninggalkan ilmu yang sangat berharga, telah membenarkan pandangan-pandangan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya, semisal al-Biruni yang dalam pandangan orientalis Jerman Schaw disebut sebagai: “pemikir matematika terbesar dalam sejarah manusia yang telah membenarkan teori Batlaemus tentang bumi, yang mengatakan bahwa bumi itu tetap dan orbit berotasi di sekitar bumi, dia juga pemilik teori yang mengatakan bahwa bumi berotasi pada dzatnya dan juga berotasi mengitari matahari.

Apabila kebenaran ilmiah telah kita lihat seperti sekarang ini, tidak lain bahwa di sana terdapat andil ilmuwan-ilmuwan terdahulu, kemudian Al-Qur'ân telah menjelaskan hal tersebut sejak beberapa yang beberapa abad lamanya Al-Qur'ân telah lebih dahulu menjelaskan hal ini. Al-Qur’ân juga bisa dipahami sejak pertama kali ayat tersebut diturunkan atau fase sesudah ayat tersebut diturunkan dengan mengkondisikanya dengan kondisi manusia di masa itu. Hal tersebut memungkinkan kita untuk menetapkan kebenaran ilmiah dengan keyakinan yang penuh, yaitu dengan memahami ayat-ayat Al-Qur'ân dengan pemahaman yang sempurna dalam perspektif kemajuan sains, sehingga memudahkan kita untuk memahami kebenaran ilmiah tanpa menodai kebenaran tersebut, bukankah hal tersebut bisa mendekspresikan kemukjizatan Al-Qur'ân dan menambahkan keimanan serta keyakinan kita? Dan apakah sesudah itu kita akan mengatakan bahwa semua itu adalah penemuan ilmuwan modern? Atau kita akan mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan penemuan ilmuwan Islam, atau merupakan penemuan dari pembenaran dari kesalahan-kesalahan ilmuwan-ilmuwan terdahulu, atau itu merupakan murni temuan ilmuwan-ilmuwan kita? Dan bukankah al-Biruni adalah ilmuwan Islam yang telah memberikan sudut batas untuk sampai ke bulan?

Bukankah ilmuwan Mesir Dr. Faruk Al-Baz yang telah memberikan batas landing (mendarat) di atas bulan dalam perjalanan astronot pertama Amerika ke planet angkasa ? Dan bukankah hal tersebut menjadi hak kita untuk membanggakan ilmuwan-ilmuwan besar kita sejak abad ke-10 juga masa sebelum dan sesudahnya–sampai akhir abad ke–20 dan masa sesudahnya sampai memasuki millenium ketiga insyâllâh.

Kita mengatakan dengan sejelas-jelasnya akumulasi dari buah ilmu pengetahuan yang merupakan andil terbesar ilmuwan kita di dalamnya, bersama dengan perjalanan masa dan abad, bahwa dahulu ilmuwan-ilmuwan Islam mempunyai keunggulan akan tetapi hal tersebut diingkari oleh orang–orang kufur dan dengki juga orang – orang yang berpandangan western oriented.

Patut untuk disebutkan, bahwa sebagian ilmuwan Barat banyak yang menisbatkan pandangan–pandangan atau riset–riset mereka tanpa sama sekali menyebutkan peran ilmuwan Islam dalam permasalahan tersebut, bahkan lebih dari itu mereka mengklaim penemuan itu pada diri mereka sendiri tanpa menunjukkan sama sekali peran ilmuwan kita—sebagai tambahan dari apa yang sudah saya sampaikan bahwa banyak sekali kalimat-kalimat dan istilah-istilah bahasa Arab dalam bidang ilmu pengetahuan dan lainnya dipindahkan ke dalam bahasa mereka, padahal hal itu merupakan penemuan-penemuan orang Islam dari riset dan ekplorasi mereka .

Contoh dari kata-kata tersebut misalnya (سكر – sucre – sugar – zucker ), ( الكحول – alkohol ), ( السفاف– chiffon ) dan lain-lain.

Contoh istilah-istilah dalam ilmu astronomi dan perbintangan :

(- الغولAlgol ), ( الطير – al-Thair ), ( الذنب – denab ) dan ( فم الحوت– fam alhaut ). Sampai dalam rumus-rumus ilmu falak yang aslinya merupakan bahasa Arab dan berubah kedalam bahasa lain misalkan: ( السمت – Zenith ), (سموت الشمس – Azimut ), ( النظير – Nadir ) dan (- المنقنطرات Al-Muqantarât ).

Dalam hal ini, ilmuwan-ilmuwan Barat banyak yang mengakui kelebihan ilmuwan-ilmuwan Arab terhadap peradaban serta kebangkitan Islam modern, sehingga Sedio—salah satu di antara mereka mengatakan: ”Bagaimanapaun orang-orang Barat mengingkari kelebihan ilmuwan-ilmuwan Arab-Islam. Hal tersebut tidak akan bisa melepaskan peran ilmuwan Arab-Islam dari atas permukaan langit.”

Nama dan istilah yang telah diberikan oleh orang-orang Arab-Islam pada bintang dan planet, sampai saat ini masih terjaga dalam bahasa asing sebagaimana sebagian darinya telah kita sebutkan di atas. Geroge Sharton, salah seorang ilmuwan Barat lainnya mengatakan: ”Kalau bukan karena peran dan penemuan ilmuwan-ilmuwan Arab-Islam, maka tak ayal lagi ilmuwan-ilmuwan modern akan memulai semuanya dari titik nol; dan sebagai konsekwensinya, maka peradaban mereka akan terlambat dengan peradaban lainnya beberapa abad kebelakang. Sebagai buktinya, mari kita baca karya George Hunk dalam bukunya Allâh Alaisa Kadzâlik ?

Bahwa dunia Arab–Islam–beberapa abad lalu jauh lebih maju dari peradaban Eropa tengah–ilmuwan Arab-Islamlah yang menjadi funding father sekaligus pionir dalam ilmu Kimia organik, sebagian besar di antara mereka melakukan hal tersebut sama sekali tidak berdasar kecuali pada prasangka atau dugaan, dan telah dibenarkan bahwa apa yang mereka dapatkan dalam hal tersebut seratus persen adalah kesalahan, kesalahan Galianus yang telah dibenarkan oleh Abdul Latif salah seorang dokter Solehudin al-Ayyubi, yang mengatakan adanya lubang pada penutup yang memisahkan jantung. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Ibn Nafis yang menerangkan bahwa apa yang diungkapkan oleh Galianus bersifat hayal belaka, dan kebenarannya ditemukan sesudah penemuan sikrkulasi peredaran darah yang sangat kecil. Pendapat Akledus dan Batliamus yang mengatakan bahwa mata bisa melihat dengan cara pemantulan cahaya dari cermin, dibenarkan oleh ilmuwan Islam yang brilian dalam masalah ilmu optik, Hasan Bin Haitsam. Ia adalah ilmuwan yang banyak membuat pandangan dan hukum dalam bidang ilmu optik yang jauh lebih maju dari apa yang dipunyai Eropa. Pandangannya dalam masalah pencahayaan hampir sempurna, yang saat ini banyak digunakan sebagai dasar pemakaian lensa, cermin, dan berbagai macam alat fotographi yang dilengkapi dengan penggelap atau penangkal cahaya Matahari.

Apa yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan Arab, baik dari kalangan ahli kedokteran, ahli falak , ahli matematika atau ahli kimia dengan berbagai macam penemuaanya yang beragam, telah menyirami Eropa yang saat itu bak benua mati yang terguyur hujan deras. Penemuan-penemuan ilmuwan Islam bukan hanya telah menghidupkan Eropa, tetapi juga telah menyuburkan benua tersebut dengan beragam ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sejak abad ke–9 M, riset saintifik di Eropa seakan-akan lumpuh (kalau tidak bisa dikatakan mati). Hal tersebut dikarenakan pelarangan, pengekangan dan pengharaman Gereja terhadap mereka yang melakukan riset saintifik. Contohnya adalah Edlhard. Ia adalah salah seorang yang merasa tercekik dengan kondisi negaranya sesudah ia banyak merasakan kebebasan berfikir di dunia Arab.

Kita telah menemukan bahwa yang mengajak ke arah pencerahan (aufklarung) banyak di antara mereka yang mengingkari peran peradaban Arab-Islam seperti para pembangkang. Apa yang mereka sebar-sebarkan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang dengki peradaban Islam dan orang-orang yang membenci umat Islam. Mereka berusaha untuk melupakan apa yang telah mereka ambil dari peradaban Arab–Islam dan apa yang mereka pelajari tentang kebebasan pemikiran yang disandingkan dengan kebebasan beragama .

Apakah orang-orang yang mengajak untuk melakukan pembaharuan di masa kita dapat memahami kebenaran-kebenaran tersebut? Apakah mereka mengetahui kelebihan-kelebihan dunia Arab–Islam dibandingkan dengan peradaban Barat? Apa yang telah ditemukan oleh orang-orang Islam dalam ilmu–ilmu alam dan juga ilmu eksakta? Dari segala kelebihan yang saat ini tengah ditemukan kebenaran saintifiknya, sebagian dari hal itulah yang memperbaharui kemukjizatan Al-Qur'ân .

Saya mengira seandainya saja mereka mengetahui kontribusi orang Islam dan juga peradaban Arab, niscaya mereka tidak akan mengatakan seperti itu.

Memang tidak sepatutnya bagi kita untuk membanggakan kelebihan dalam hal ini ataupun keutamaan dalam hal itu. Karena, tidak seyogyanya kita berilusi dengan keindahan masa lalu. Apa yang saya sebutkan di atas hanyalah untuk meyakinkan betapa kontribusi orang Islam dalam melakukan ekplorasi saintifik yang dewasa ini di atasnya telah dibangun peradaban Barat.

Kita tidak boleh untuk menyalahkan siapapun kecuali diri kita sendiri, bahwa apa yang ditemukan oleh orang lain dari khazanah yang kita miliki saat ini, malah kita harus bersyukur karena dari situ kita bisa mendapatkan hikmah yang telah hilang pada diri seorang Mu’min yakni sebagai umat manusia yang paling utama dengan khazanah tersebut, walaupun kemukjizatan Al-Qur'ân tidak akan berhenti karenanya dan juga kemukjizatan Al-Qur'ân tidak akan menjadi usang karena banyaknya sanggahan. Kadang orang–orang yang tidak berafiliasi dengan Al-Qur'ân, menemukan sisi kebesaran Al-Qur'ân baik itu dari sisi syari’atnya ataupun sisi mukjizat saintifiknya.

Tetapi hal tersebut–seperti yang kita sebut di atas–tidak berarti bahwa seorang Muslim sudah menjalankan perannya yaitu pada masa keemasaan dan kejayaan mereka, kemudian sesudah peran tersebut selesai, kita mencemooh orang-orang terdahulu, karena itu merupakan risalah yang berkesinambungan yang tidak gugur tanggungjawabnya pada masa atau waktu tertentu saja, bahkan apabila ada peran peradaban yang menjadi saksi kebangkitan mereka, karena mereka akan mengetahui dari agama, bahwa ada beberapa syarat kebangkitan. Dan apabila mereka komitmen dengan syarat tersebut dan menjalankan haknya, maka Islam akan menjadi agam yang mulia begitu juga mereka, dan begitupun sebaliknya apabila syarat tersebut hilang, maka mereka akan kehilangan kemuliaan tersebut. Allah berfirman dalam Al-Qur'ân:

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ(38)

”Dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini) (QS. Muhammad: 38).

Dalam ayat ini tidak ada jaminan yang mengatakan bahwa kemenangan atau kekalahan bagi orang–orang Islam. Akan tetapi terdapat sunah-sunah Allah yang tidak akan pernah berubah:

إِنْ تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ(7)

”Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". (QS: Muhammad: 7).

Berkenaan dengan peneguhan keimanan dan keyakinan di hati orang–orang Muslim secara umum maupun khusus, Al-Qur'ân telah diturunkan dengan cakupan terhadap beberapa ayat-ayat kauniyah (berkenaan dengan alam semesta) dengan sangat terperinci dan jelas yang berkenaan dengan kebenaran–kebenaran yang pasti. Hal tersebut merupakan peneguhan terhadap kemukjizatan Al-Qur'ân di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang selalu up to date dengan bahasa manusia modern, yaitu bahasa ilmu pengetahuan.

Karenanya kita harus tahu bahwa kebenaran saintifik yang terkandung di dalam Al-Qur'ân, bukan merupakan maksud diturunkannya Al-Qur'ân. Ia hanyalah merupakan konteks dari maksud yang paling asasi bagi Al-Qur'ân, yaitu sebagai petunjuk kebenaran bagi manusia, keimanan kepada Allah, ke-esaan-Nya juga kekuasaan–Nya dan keimanan kepada dasar-dasar Islam dan juga kelengkapan ajaranya. Syarat agar kita bisa berkomitmen dengan semua itu adalah adanya kebenaran saintifik yang absolut dan diyakini sepenuhnya, disamping tidak keluarnya realitas kalimat Al-Qur'ân dengan bahasa majasnya, kecuali dengan korelasi yang jelas dan pasti.

Terakhir tapi tidak kalah pentingnya, harus diketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur'ân ketika turunnya sangat menjaga kondisi dan pemahaman orang–orang Arab, sebagai jaminan untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Karena itu, Al-Qur'ân berisi kebenaran yang mutlak , abadi dan tidak akan berganti :

لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

”Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Al-Rûm: 30), sehingga dengan hal tersebut keimanan manusia senantiasa bertambah sebagaimana mereka menemukan kebenaran itu dari masa ke masa, dan hal ini tidak akan pernah ditemukan kecuali di dalam Al-Qur’ân .

Seandainya saja Al-Qur'ân pertama kali diturunkanya sudah mengkhitobi (mengajak berbicara) manusia tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka, maka akan terjadi pertentangan antara Al-Qur'ân dan manusia sehingga menyebabkan dakwah Islam akan terhalangi dan Al-Qur'ân akan diingkari dan didustakan oleh manusia, begitu juga bahwa hidayah Al-Qur'ân menuntut manusia agar manusia tidak percaya terhadap kerusakan anggapan mereka–ketika manusia meyakininya–hata misalkan hal tersebut menyebabkan penerimaan terhadap petunjuk tersebut.

Contoh paling sederhana dalam masalah ini yang kita ketahui adalah terjadinya gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya Ibrahim putra Rasulullah saw. Mendengar berita itu semua manusia bergetar, mereka menyangka bahwa peristiwa tersebut merupakan mukjizat alam yang diperlihatkan oleh Allah SWT kepada rasul–Nya–semoga shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepadanya. Dalam momen bersejarah tersebut, seandainya saja Nabi Muhammad saw bukan seorang nabi atau utusan–Nya, maka Nabi Muhammad saw akan takut untuk menunjukan–mukjizat alam–atau mukjizat seperti yang dilihat oleh manusia. Akan tetapi Muhammad adalah seorang yang benar dan dapat dipercaya yang diutus sebagai rahmat bagi umat manusia. Segala sesuatu yang disampaikannya tidak akan meragukan manusia bahkan sampai ia keluar di tengah mereka sebagai seorang yang memberi petunjuk dan sebagai pemberi penjelasan:

”Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah tanda dari tanda–tanda kebesaran Allah dan keduanya (rembulan dan matahari ) tidak akan gerhana karena hidup atau kematian salah seorang di antara kamu. Apabila kalian melihat matahari atau rembulan gerhana, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah shalatlah dan percayalah.” (HR. Bukhari).


Saya berdo’a kepada Allah, semoga kita dapat mengambil manfaat dari ilmunya dan semoga Allah memberkahi pemberian ilmu dan kebaikan yang kontinyu; dan sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha mulai yang dipinta, dan maha dzat yang maha mulia yang memberi dan semoga Allah senantiasa memberikan shalawat serta salam-Nya kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Sumber : http://religiusta.multiply.com/journal/item/150

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment